Cerpen: Konstelasi Kairav

Cerpen: Konstelasi Kairav

By aksaraels
(Elisha Firli Nurjanah, 12 MIPA)

“Sebuah bintang akan lebih bersinar jika ia bersama dengan bintang lainnya membentuk konstelasi, bukankah begitu?

"Apa terlahir menjadi tuli adalah sebuah kesalahan?

Handaru memang tak sempurna secara fisik, tetapi Handaru merasa hidupnya sempurna karena memiliki orangtua seperti Bunda, juga saudara seperti Rahadyan, Januar, dan Nareshwara. Menurut Handaru, Tuhan masih berbaik hati padanya. Tuhan hanya mengambil pedengarannya, tapi tidak dengan tangan atau anggota tubuh Handaru yang lain. Setidaknya Handaru masih bisa memeluk saudara-saudaranya itu, ia sangat bersyukur.
Konstelasi Kairav akan membawamu menelisik kisah Handaru, salah satu bintang tak sempurnanya Kairav Bersaudara.

 

 

 

 

 


Inspired by a song called Usik, 
a masterpiece by musician named Feby Putri.
Author Notes : Handaru berbicara menggunakan bahasa isyarat.
—————————————————————————————————————
“Kairav bersaudara tuh sebenernya udah perfect banget nggak sih?”
“Perfect sih, kalau aja Handaru nggak tuli.”
“Iya sih, sayang banget ya,”
Handaru tersenyum tipis, meskipun tidak mendengar apa yang dikatakan kedua siswa perempuan itu, ia bisa menebak dari gerakan mata serta bibir mereka.
Lagi-lagi memperbincangkan kekurangan milik Handaru.
Handaru tak merasa marah ataupun kesal, karena benar dirinya tak se-sempurna ketiga saudara kembarnya yang lain. Namun, Handaru tak  pernah sedikitpun merasa iri pada saudara-saudaranya. Toh, untuk apa? Iri tak akan menjadikan Handaru sekejap mendapatkan pendengaran normalnya.
Setidaknya tangan dan kakinya masih lengkap, matanya masih bisa melihat dengan jelas, atau hidungnya yang masih bisa bernapas dengan normal pun cukup untuk Handaru. Mungkin, Tuhan mengambil pendengaran Handaru supaya pemuda itu tak mendengar tajam dan kasarnya ocehan beberapa manusia yang ada di sekitar Handaru.
Tuhan itu masih baik, batin Handaru di setiap harinya.
“Berisik banget mulutnya, lo siapa berani komentarin Handaru?” sebuah sahutan pedas mengambil alih atensi Handaru. 
Itu Rahadyan Lasmana Kairav, anak sulung diantara Kairav bersaudara. Mempunyai pribadi yang sensitif, apalagi jika menyangkut keluarganya.
Pemuda itu berdiri di depan Handaru, menutupi adik kembarnya itu seakan melindungi. “Kalau nggak bisa ngomongin hal yang baik tuh, jual aja mulutnya,” lanjutnya tajam membuat dua gadis di depannya berkasak-kusuk meminta maaf lalu beranjak pergi dari sana.
Rahadyan atau yang biasa dipanggil Rayan itu membalik tubuhnya menghadap Handaru. “Lo nggak usah−“ ucapan Rayan terhenti saat matanya tak sengaja melihat alat pendengaran Handaru yang belum terpasang, pemuda itu menghembuskan napas lega. “Bagus deh, nggak lo pake,” katanya merasa lega karena Handaru tak mendengar ucapan sampah yang dikatakan dua siswi tadi.
Handaru kemudian memasangkan alat pendengarannya, tangannya bergerak membentuk sebuah isyarat yang dengan mudah dimengerti Rayan.
“Rayan kenapa? Kayaknya emosi banget, emang mereka tadi ngomongin apa?” 
Rayan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Mereka ngomongin hal yang nggak jelas pokoknya. Udah-udah biarin aja, ngomong-ngomong si Janu kemana?” balas Rayan mencoba mengalihkan perhatian Handaru.
Handaru menggaruk tengkuknya yang tak gatal, disertai ringisan kecil menjawab dengan seadanya.
“Terakhir lihat sih, tadi dihukum hormat di lapangan karena belum ngumpulin pr.” 
“Heh, parah ya lo berdua. Pantesan gue bersin-bersin tadi, ternyata lagi di gibahin,” celetuk seorang pemuda tinggi yang tiba-tiba muncul bersama pemuda lainnya. Yang barusan berceletuk adalah Januar Surendra Kairav, sementara pemuda satunya yang terlihat anteng adalah Nareshwara Prasaja Kairav.
Rayan melangkah mendekati Januar sebelum akhirnya memiting leher si jagoan dari keluarga Kairav itu. “LO BENER-BENER YA NU! BERTINGKAH APA LAGI LO HAH?!” Meskipun memiliki ukuran tubuh yang sedikit lebih mungil dibanding saudaranya yang lain, tenaga yang dimiliki Rayan sangat kontras dengan hal itu. Karena itu, walaupun tubuh Januar lebih besar, tetap saja ia tak berani macam-macam dengan Rayan. Seperti saat ini, Januar terus-menerus meminta ampun minta dilepaskan lehernya.
Handaru tertawa lebar melihatnya, membuat Naresh yang sejak tadi hanya diam memandangi keributan di depannya jadi ikut tersenyum meskipun tipis. Pemuda itu beranjak dari tempatnya, berpindah ke sisi Handaru.
Siang itu tembok kantin menjadi saksi salah satu kebahagiaan kecil dan sederhana milik Kairav bersaudara.
***
Kali ini kelas tampak lebih heboh dari biasanya karena guru mapel yang mengajar pada saat itu belum menampakkan batang hidungnya. Semua tampak bersenda gurau bersama teman-temannya kecuali Handaru. Sejak tadi pemuda itu masih setia duduk diam menunggu Naresh kembali dari urusannya bersama OSIS. Membosankan sih, tetapi memangnya mau bagaimana lagi? Meskipun tak semua anak kelas membencinya, tetap saja tak ada yang mau berinteraksi dengan Handaru.
Sebuah tepukan yang agak keras mendarat di punggung Handaru membuat remaja laki-laki itu tersentak kaget. Handaru menoleh, mendapati Yasa dan teman-temannya sudah mengerubungi tempat duduknya.
“Eh, Ru. Tadi gue nggak sengaja lihat tanaman yang ada di meja guru ada yang digigit ulet. Coba deh lo lihatin,” kata Yasa dengan intonasi bersahabat, berbeda dari hari biasanya.
Handaru menurut, pemuda itu beranjak dari duduknya dan menghampiri tanaman yang dimaksud Yasa. Tangan Handaru brulang kali mengecek daun-daun tanaman itu memastikan apakah benar ada ulat disana, namun nihil.
Kemudian Handaru tersadar, mengapa teman sekelasnya tampak menahan tawa? Pemuda itu berbalik, melihat senyuman Yasa yang kini seakan mengejek.
“Saya tuli, tolong kasih saya sumbangan.” Kata seseorang yang tiba-tiba masuk, meraih sebuah kertas yang menempel di punggung Handaru.
Naresh meremas kertas itu dan melemparnya dengan asal. Dengan pandangan tajam, pemuda itu memandangi satu per satu teman sekelasnya. “Siapa yang nulis itu?” tanyanya dengan suara tertahan, mencoba tetap tenang.
“Nggak ada yang mau ngaku? Oke, gue−“ Perkataan Naresh tidak jadi selesai karena Handaru mengelus pelan bahunya, bermaksud menenangkan saudaranya itu.
“Naresh, udah ya? Handaru nggak apa-apa,” balas Handaru sambil tersenyum seperti biasanya, namun hal itu membuat Naresh merasa sesak meskipun raut wajahnya datar. Lagi-lagi, Handaru berbohong tentang perasaannya.
Naresh hanya menurut, kemudian dengan langkah lebar meraih tas miliknya serta Handaru. Pemuda itu melirik ke arah seorang gadis yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. “Nala, gue sama Handaru izin balik. Gue nggak enak badan,” tukasnya tanpa mempedulikan balasan dari gadis yang kini jadi mendelik ke arahnya. Sementara Handaru hanya mengekori Naresh yang mengajaknya untuk pulang.
***
“Loh, yang pulang kok cuma Naresh sama Daru? Rayan sama Janu kemana?” tanya Ayunda−Bunda Kairav bersaudara, sesampainya Naresh dan Handaru di rumah.
“Masih ada urusan di sekolah, Bun. Naresh ke atas duluan ya,” jawab Naresh dengan cepat sebelum beranjak menaiki tangga menuju kamarnya.
Bunda hanya merespon dengan gelengan kepala, kemudian mengalihkan atensinya pada Handaru. “Daru, gimana sekolah kamu hari ini?” tanya Bunda lembut sambil mengusak pelan surai putranya itu.
Handaru melingkarkan tangannya pada perut sang Bunda, menenggelamkan wajahnya disana. Seakan mengerti, Bunda hanya mengusap-usap pelan rambut dan punggung si pemuda. Dan raut wajah Bunda yang tadinya tenang berubah menjadi khawatir kala dirasanya sesuatu membasahi bajunya, juga bahu Handaru yang tiba-tiba bergetar kecil.
Benar, Handaru menangis.
Untuk pertama kalinya lagi, pemuda itu menangis di depan Ayunda.
“Handaru, kamu kenapa?” tanya Bunda dengan suara khawatir.
Handaru menarik wajahnya setelah mendengar nada khawatir dari sang Bunda. Wajah pemuda itu memerah, matanya berkaca-kaca. Kemudian Handaru mengambil sesuatu dari saku seragamnya, sebuah kertas notes ukuran sedang yang dilipat. Ia serahkan kertas itu pada wanita di depannya.
Bunda meraih kertas itu dan langsung menutup mulutnya begitu membaca tulisan milik Handaru. 
“Bunda, Daru mau tanya. Apa terlahir menjadi tuli itu sebuah kesalahan besar? Kenapa teman-teman Daru selalu bilang kalau seharusnya Daru tak pernah lahir?”
“Oh iya, mereka bilang alasannya juga. Katanya nanti Bunda, Rayan, Janu dan Naresh pasti akan malu kalau orang-orang tahu anak dan saudara kandung mereka itu cacat.”
“Maafin Handaru ya Bunda. Maaf karena Daru nggak terlahir normal seperti Rayan, Janu, dan Naresh.”
“Kalau saja Daru bisa memilih, Daru tidak mau lahir Bunda. Daru nggak mau bikin Bunda sedih dan malu.”
“Bunda, jangan pernah salahin Tuhan ya. Karena Tuhan itu baik Bun, salahin Daru aja nggak apa-apa.”
Setelah selesai membaca, Bunda langsung meraih tubuh Daru untuk di dekap. Sebenarnya, siapa orang yang tega membuat putranya sampai berpikir untuk meminta maaf hanya karena kondisi fisiknya yang berbeda dari orang lain. Ia benar-benar tak habis pikir, kenapa mereka setega itu menyakiti Handaru-nya yang mempunyai hati seputih kapas itu.
Sebagai seorang Ibu, tentu saja Ayunda marah. Ingin rasanya Ayunda berteriak pada semua orang kalau Handaru-nya itu istimewa, meski sedikit berbeda Handaru juga sama seperti anak-anak lainnya karena ia juga merupakan titipan dari Yang Maha Kuasa. Handaru-nya berhak hidup dan merasakan kebahagiaan seperti anak-anak lainnya. Tapi, mengapa orang-orang itu selalu memandang putranya dengan sebelah mata? Ayunda sangat marah pada mereka, tetapi Ayunda lebih marah pada dirinya sendiri, karena ia gagal untuk menjaga putra yang disayanginya itu.
“Handaru, kamu nggak perlu minta maaf sama Bunda ataupun yang lain. Kamu itu istimewa, makanya kamu berbeda dengan orang-orang ini. Kami nggak pernah merasa sedikit pun malu atau menyesal menerima kamu apa adanya, Daru.”
“Kamu nggak salah, Handaru. Kamu bahkan menjadi salah satu kado terindah yang Tuhan beri untuk Bunda, gimana bisa kamu bilang kalau kelahiran kamu adalah sebuah kesalahan?”
“Bunda yang harusnya minta maaf Daru, maaf Bunda nggak bisa untuk menjaga Daru sampai kamu harus dengan perkataan jahat seperti ini.”
Sementara di kamar atas, Nareshwara pun ikut menangis sambil memeluk sebuah bingkai foto yang memotret dirinya serta saudara-saudaranya. Pemuda itu menangis anpa mengeluarkan suara. Jemarinya bergerak mengusap wajah bahagia Handaru pada foto tersebut.
“Maafin Naresh, Naresh gagal jagain Daru.”
“Gue saudara terburuk karena nggak bisa jagain saudaranya sendiri.”
***
Hari ini hujan turun dengan deras, beruntung ini adalah hari libur. Kairav bersaudara terlihat berkumpul dan asyik bergurau di ruang keluarga. 
“Hujan-hujan begini tuh enaknya mie kuah buatan Kakak Rayan nggak sih?” sela Janu tiba-tiba sambil mengerlingkan matanya jahil yang dibalas pelototan kecil oleh Rayan.
“Enak aja, bikin sendiri sana,” tolak Rayan dengan sebal sambil menutup buku yang sedang dibacanya.
“Nggak ada yang bisa bikin Indomi seenak buatan lo soalnya, ya ya mau ya? Lo masa tega biarin adek-adeknya kelaperan?” bujuk Janu tanpa kenal menyerah, Handaru tertawa kecil melihat kelakuan Janu sementara Naresh hanya menatap Janu datar.
“Fine. Nggak usah berisik tapi,” pada akhirnya Rayan menyerah, pemuda itu memilih beranjak ke dapur untuk membuatkan mie kuah favorit Kairav bersaudara. Kemudian Januar meraih ponselnya, berniat mengecek pesan dari aplikasi chatnya begitupun dengan Naresh.
Handaru beralih menatap ke arah jendela, melihat tetesan-tetesan air hujan yang melekat di kacanya. Melihat hujan yang turun dengan sangat deras itu, Handaru jadi teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Kejadian yang disimpannya dengan rapat-rapat.
Handaru yang saat itu tengah menunggu ketiga saudaranya tiba-tiba diseret paksa menuju halaman belakang sekolah. Lagi-lagi, Yasa Ardhitama. Jujur saja, sebenarnya apa masalah Yasa dengannya? Selama ini Handaru tak pernah membalas pemuda itu tapi mengapa Yasa begitu membencinya?
“Karena lo, Papa selalu pukul gue karena gue nggak bisa ngalahin lo. Dan gue benci itu.”
Baiklah, anggap saja itu memang salahnya. Namun, apakah hal tersebut bisa menjadi alasan untuk membenarkan sikap Yasa pada Handaru? Tapi bukan itu yang membuat Handaru merasa tak tenang.
“Dan karena itu juga, Mama gue harus selalu dapet pukulan yang sama karena lindungin gue. Puas lo? Harusnya lo tuh nggak usah ada aja di dunia.”
Itu adalah kata-kata terakhir Yasa sebelum ia bersama gerombolannya meninggalkan Handaru sendirian dengan keadaan basah kuyup. Pandangan Yasa waktu itu sangat membuat Handaru sesak seolah-olah seseorang mencekik lehernya. Pemuda itu juga terluka, sama dengan Handaru. Dan Handaru sama sekali tidak bisa membencinya.
Lama-lama Handaru jadi berpikir, apakah benar jika seharusnya ia menghilang saja dari dunia ini? Dengan begitu, apakah keluarganya akan bahagia? Apakah Yasa dan Mamanya tidak akan dipukuli lagi?
“HANDARU!”
Handaru tersentak, di hadapannya ada Janu yang menatapnya dengan kebingungan serta Rayan dengan raut wajah cemasnya.
“Daru, mikir apa?” tanya Rayan sambil meletakkan mangkuk-mangkuk berisi mie yang mengepulkan asap putihnya itu di atas meja.
Handaru meringis kecil sambil memegang lehernya yang tak gatal, “Bukan apa-apa, kok.”
“Jangan keseringan bengong Ru, itu ayam tetangga bengong langsung kesurupan reog,” canda Janu yang langsung di lempar Rayan menggunakan lap.
“Resh, liat tuh Kakak lo. Galak banget kayak cewek PMS,” adu Janu mendekat pada Naresh yang langsung di tepis olehnya.
“Lo berat Nu, minggir ah gue mau makan nih,” omel Naresh sambil menyingkirkan tubuh Janu yang sedikit menimpanya.
“Acieee anak bujang ngambekan banget dah, nggak inget apa lo dulu selalu ngekorin gue mulu,” goda Janu menyenggol bahu Naresh pelan yang dihadiahi death glare dari pemuda itu, seketika membuat Janu refleks menjauhkan dirinya.
Janu mengalihkan perhatiannya, mengambil mangkuk bagiannya. “Yang terakhir habis, nanti nyuci piring ya,” katanya dengan jahil.
“Makan tuh makan aja, nggak usah bawel,” dumel Rayan mulai menyendokkan mienya.
Handaru menipiskan bibir sambil menggenggam kuat sendok garpu yang ada di tangannya. Melihat tawa saudara-saudaranya itu mendadak Handaru merasa sesak. Ia teringat perkataan Yasa, pemuda itu takut. Takut jika memang pada akhirnya Handaru sendirian akan meninggalkan Rayan, Janu, dan Naresh.
Tanpa bisa ditahan, satu-persatu bulir air mata menetes dari pelupuk mata Handaru. Bertepatan dengan itu, Rayan menoleh. Sedikit merasa terkejut mendapati Handaru menangis. Handaru yang tersadar pun jadi spontan mengusap pipinya kasar dan bersikap seola-olah tak tau apapun.
Rayan tersenyum tipis, beranjak dari tempatnya untuk pindah di sisi Handaru. “Daru, kenapa?” tanyanya lembut sambil merangkul bahu pemuda itu. Hal itu membuat Janu dan Naresh yang tadinya sedang meributkan perihal kerupuk jadi menoleh. Janu menjadi orang selanjutnya yang langsung mendekat ke sisi Handaru setelah meletakkan mangkuknya.
“Dih, Daru lo kenapa? Ada yang jahatin Daru?” tanya Janu bertubi-tubi membuat Handaru tak bisa lagi memepertahankan diri. Tangisnya pecah, membuat semua saudaranya terkejut.
Pasalnya, Handaru sama sekali tak pernah menangis di hadapan mereka. Entah karena diejek teman atau apapun, Handaru hanya akan tersenyum tipis seakan menandakan kalau ia baik-baik saja.
Nareshwara saja sampai terdiam melihat hal itu. Suara tangisan Handaru terdengar menyesakkan, namun Rayan berusaha menguasai dirinya. Pemuda itu merangkul Handaru, menepuk-nepuk punggungnya pelan. “Iya iya, keluarin aja Dar. Pasti capek ya nahan ini sendirian? Nggak apa-apa, ada kita disini.” Kata Rayan dengan suara parau.
Tangan Januar terulur, menyentuh surai Handaru lembut dan mengusaknya pelan. “Lo anak baik, Daru. Jangan sakit sama sedih-sedih ya,” ucap Januar dengan getir, matanya pun berkaca-kaca meskipun raut wajahnya tampak biasa saja.
Naresh yang sejak tadi diam akhirnya pun ikut beranjak mendekati saudara-saudaranya. Pemuda itu menekuk lututnya di depan Handaru yang masih terisak sambil menutupi wajahnya.
“Handaru, kita ini saudara. Udah seharusnya sejak awal kita selalu berbagi, mau itu senang ataupun susah. Tapi lo egois, selalu ketawa bareng kita tapi nangis sendirian.”
Kata Naresh dengan intonasi lembut, agak membuat Rayan dan Janu terkejut namun mereka hanya memilih diam. Membiarkan Naresh mengeluarkan perasaannya pada Handaru.
Naresh menghembuskan napasnya pelan, “Handaru, kalau lo mau nangis atau ngerasa sedih, kasih tau kita ya? Itu nggak adil kalau kita ngerasa bahagia bareng, tapi lo sedih sendirian.”
***
Sudah beberapa hari ini Handaru tampak lebih diam daripada biasanya meskipun masih suka tersenyum. Ketika ditanya ada apa, anak laki-laki itu hanya akan menyunggingkan senyum dan menggelengkan kepalanya. Ayunda merasa ada yang janggal namun tak ingin memaksa putranya itu untuk berbicara, ia akan menunggu Handaru yang bercerita sendiri.
Tapi pagi ini Ayunda dikejutkan dengan Handaru yang hendak bersiap-siap pergi. Pemuda itu keluar dari kamarnya membawa sebuah kotak kecil yang dihiasi pita berwarna putih.
Handaru menghampiri wanita yang sudah melahirkannya itu kemudian memeluknya erat membuat Ayunda jadi kebingungan namun tetap membalas pelukan Handaru.
“Ada apa, nih? Tumben peluk-peluk Bunda lagi,” tanya Ayunda sambil mengelus surai lembut Handaru. Handaru tidak membalas melainkan melepaskan pelukannya dan mengulurkan kotak yang sejak tadi dipegangnya.
Ayunda ganti mengalihkan perhatiannya pada kotak tersebut, tangannya meraih kotak tersebut dengan wajah senang. “Eh ini apa?” tanyanya lagi dengan nada antusias.
“Itu hadiah, untuk Bunda. Malaikat tak bersayapnya Handaru.”
Mata Ayunda berkaca-kaca, di dekapnya lagi Handaru dengan erat. “Makasih, Daru. Padahal ini bukan ulang tahun Bunda loh,”
Handaru meringis kecil di pelukan Bundanya itu, bukan apa-apa. Hanya saja ia sedikit kesulitan bernapas karena pelukan Bundanya yang entah kenapa terasa erat sekali.
“Eh iya, ngomong-ngomong kamu kayak mau pergi? Ke mana?” tanya Ayunda bertubi-tubi.
Handaru menipiskan bibir sebelum membuat isyarat, “Aku mau jenguk teman habis itu pulang kok.” 
Mata Ayunda agak memicing takut Handaru membohonginya, sebenarnya akhir-akhir ini Ayunda sedikit bermimpi buruk tentang Handaru. Tapi mungkin itu hanyalah bunga tidurnya saja.
“Beneran pulang ya?”
“Iya, nanti pulang kok ke rumah.”
“Janji jari kelingking?
“Janji, Bunda!”
***
“Ck, ayo lah balik. Ngapain lama-lama disini?” keluh Naresh pada kedua saudaranya itu. Pemuda itu mengeluh karena mereka sedang mengunjungi Yasa yang dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan yang membuatnya kehilangan penglihatannya. Dalam hati, Naresh sedikit menyinggung kalau itu adalah karma untuk Yasa yang selalu mengganggu Handaru.
Rayan tersenyum tipis, menaruh tangannya di bahu Naresh. “Sabar ya, ini si Handaru mau nengok juga. Barusan ngirim chat dia, tunggu sebentar lagi ya?”
Janu yang jadi ikut gemas karena sikap Naresh itu pun juga jadi melingkarkan satu lengannya di leher Naresh. “Jangan ngambekan dong, Resh,” ledeknya yang langsung ditepis Naresh.

Sementara Handaru sedang berjalan dengan tenang di sepanjang jalan pinggiran toko dekat halte bus tempatnya baru saja turun, pemuda itu kemudian berhenti di depan sebuah toko bunga. Handaru berniat memberikan sebuket bunga matahari untuk Yasa. Karena mendadak, pemuda itu tak sempat untuk membelikan buah atau beberapa cemilan. Tapi, kedepannya Handaru akan membawakannya kue brownies favoritnya di toko dekat rumahnya.
Handaru melangkah dengan senyum merekah sambil menatap buket di genggamannya dengan perasaan senang, sampai sebuah pemandangan di depannya membuatnya terkejut dan refleks berlari. Pemuda itu berlari ke tengah jalan guna menyelamatkan seorang gadis kecil yang tengah mengambil bola dan di saat itu juga sebuah mobil melaju dengan kecepatan yang kencang.
Tanpa berlama-lama, Handaru meraih tubuh gadis kecil itu dan mendorongnya pelan ke arah rerumputan pinggir trotoar. Sedangkan pemuda itu tak sempat untuk mengelakkan tubuhnya pun terpental dari tempatnya bersama sebuket bunga yang ia genggam kuat-kuat.
Handaru meringis kecil, kepalanya terasa sangat pusing. Sesuatu rasanya mengalir deras dari sisi pelipisnya. Seluruh anggota tubuhnya pun terasa sangat sakit. Air mata Handaru mengalir saat menatap gadis yang berhasil ia selamatkan itu.
“Bunda….” Ucapnya tanpa suara sebelum mata Handaru akhirnya terpejam dan orang-orang mulai berbondong-bondong membopong tubuh pemuda itu untuk dilarikan ke Rumah Sakit.

“Mana ya Handaru? Lama banget,” ucap Rayan sambil beberapa kali mengecek jam tangannya. 
“Nggak jadi kali, soalnya di larang Bunda,” celetuk Naresh asal yang refleks dibekap oleh Janu karena Rayan sudah menunjukkan tanda-tanda emosi.
“Udah-udah, tunggu aja. Bentar lagi−”
Ketiga saudara itu mematung saat beberapa suara perawat terdengar menyuruh semua orang untuk menepi. Seseorang berlumuran darah yang sejak tadi diberikan pertolongan pertama membuat orang-orang yang ada di sana bergidik ngeri, terkecuali tiga Kairav bersaudara. Mereka mengenali siapa sosok yang berlumuran cairan merah pekat itu.
Tanpa aba-aba lagi, ketiga pemuda itu ikut berlari mengikuti kemana arah Handaru akan dibawa. Namun sayang, keduanya tak boleh ikut memasuki ruangan yang dimasuki saudaranya itu. Berdasarkan info yang mereka dapat,Handaru terlibat kecelakaan karena menyelamatkan seorang anak kecil.
Naresh menjadi orang yang paling marah, pemuda itu hendak menghajar orang yang tak sengaja menabrak saudaranya itu jika saja Januar tidak menahannya. Sedangkan Rayan hanya terdiam, pandangannya kosong. Dalam hati, ia menyalahkan dirinya yang seharusnya menemani Handaru. Sebagai yang tertua diantara kembarannya, Rayan merasa ia sudah gagal. Gagal menjaga adiknya itu. Apa yang harus Rayan katakan pada Bundanya sekarang?
Gadis kecil yang diselamatkan oleh Handaru itu perlahan mendekati remaja laki-laki yang sedang berkecamuk emosinya itu, gadis berponi rata itu menarik kecil celana Janu membuat pemuda itu menoleh ke arahnya. Gadis itu tak mengucapkan apapun, hanya menyodorkan buket bunga yang tadi dibawa Handaru. Beberapa bunga itu tampak koyak dan sedikit terciprat darah. Janu meraih buket itu dan menatapnya dengan perasaan campur aduk.
Suara decitan pintu yang terbuka mengalihkan perhatian mereka yang ada di sana. Dokter yang baru saja keluar membuka maskernya sambil menatap mereka semua, “Apa ada keluarganya? Pasien kini dalam keadaan sadar namun masih dalam keadaan yang belum terlalu membaik,” katanya menginformasikan keadaan Handaru. 
“Kami keluarganya Dok, apa kami boleh masuk?” tanya Rayan dengan suara bergetar.
Dokter itu menganggukan kepala dan menuntun ketiga pemuda itu untuk masuk. Mereka langsung menghampiri Handaru yang kini di tubuhnya terpasang beberapa alat medis. Mata Handaru terbuka, menyadari kehadiran saudara-saudaranya itu kemudian tersenyum meskipun sulit karena dirinya sedang memakai masker oksigen.
“Handaru, mana aja yang sakit?” tanya Rayan dengan cemas sambil memegang pergelangan tangan saudaranya itu.
Handaru hanya berucap tanpa suara namun entah kenapa ketiga saudaranya itu bisa mengerti. “Semuanya sakit, Ray.” Jawabnya sedikit tersendat.
Mendengar itu Januar dan Naresh tak kuasa menahan air matanya lagi, seolah-olah mereka ikut merasakan betapa sakitnya Handaru sekarang.
Rayan menggigit bibir berusaha menahan isakannya, “Nggak apa-apa, habis ini lo bakal diobatin Dokter, terus sembuh. Tahan ya Daru,” katanya berusaha menghibur Handaru, namun Handaru menggelengkan kepalanya.
“Nggak Ray. Ini sakit banget, nggak bisa ditahan. Biarin Daru pergi ya?”
Di sisi lain, detak jantung milik Handaru yang terpampang di elektrokardiograf terus saja mengalami penurunan.
Rayan ganti mengelus rambut halus milik Handaru, “Beneran sesakit itu? Kamu beneran nggak mau bertahan lagi?” tanyanya dengan nada getir.
Handaru mengangguk lemah membuat jantung Rayan terasa mencelos dari tempatnya. Handaru sudah membuat keputusan, adiknya itu ingin pulang. Pulang ke tempat yang jauh dari jangkauan Rayan dan keluarga mereka.
“Tapi, aku punya permintaan. Ini biar Bunda nggak merasa kehilangan Daru,”
“Apa itu Dar?” tanya Rayan dengan suara parau.
“Tolong biarin Handaru donorin mata buat Yasa.”
“Iya, boleh. Kalau itu memang membuat Daru senang dan nggak ngerasa sakit, Rayan bolehin,” putus Rayan yang di respon senyuman tipis oleh Handaru.
Handaru kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Janu dan Naresh yang memunggungi dirinya dan Rayan. 
“Rayan, bilang ke Bunda sama Ayah kalau Handaru merasa sangat berterima kasih dan bersyukur karena menjadi anak mereka. Dan untuk kalian, terimakasih sudah mau menerima dan menganggap Daru sebagai saudara kalian. Kalau ada kehidupan lain, sampai ketemu lagi di kehidupan itu. Handaru sayang kalian semua.”
Rayan hanya mengangguk lagi karena sudah tak sanggup untuk mengatakan apapun lagi. 
Handaru kembali menoleh pada Rayan, “Ayo, sekarang tuntun Handaru buat ucap kalimatnya.” 
Rayan mendekatkan bibirnya di telinga Handaru, “Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah.” Bisiknya pelan yang kemudian diikuti oleh Handaru untuk mengucapkan kalimat tersebut.
Sesaat setelah mengucapkan kalimat syahadat itu, kelopak mata Handaru perlahan terpejam lagi dan elektrokardiograf yang ada di sampingnya pun ikut mengeluarkan suara yang nyaring serta layar yang hanya menunjukkan garis lurus.
Sebuah tanda jika Handaru telah benar-benar meninggalkan mereka. Nareshwara yang biasanya tak pernah menangis atau menujukkan emosinya bahkan sampai tak sadarkan diri saat mendengar bunyi nyaring yang menandakan saudaranya itu telah pergi tanpa pernah bisa kembali lagi. Janu yang berada di sampingnya dengan sigap menahan tubuh saudaranya itu dibantu beberapa perawat untuk diberikan pertolongan.
“Kamis, 17 September 2021. Pasien Handaru Bagaskara Kairav meninggal dunia pada pukul 12 siang lewat 15 menit.” Ucap sang Dokter dengan berat kemudian menyuruh salah satu perawat untuk melepas alat-alat medis yang menempel pada Handaru dan menyelimuti tubuh pemuda itu dengan kain putih.
Dengan tangan gemetar, Rayan meraih ponselnya dan menekan rangkaian nomor di layar ponselnya kemudian menekan tombol memanggil. Setelah tersambung, Rayan menarik napas panjang sebelum mengeluarkan suaranya.
“Bunda, Handaru udah pergi. Pergi ke tempatnya Ayah, Bunda yang ikhlas ya?”
Seusai mengakhiri panggilan, tangis yang sejak tadi Rayan tahan sekuat tenaga pun akhirnya luruh juga. Pemuda itu menangis hebat di samping tubuh Handaru yang terbaring kaku. Bibirnya terus-menerus merapalkan kata maaf meskipun Rayan tahu, Handaru tidak akan pernah mendengar atau membalasnya lagi seperti biasanya.
“Maaf, maafin Rayan. Rayan gagal jadi kakak.”
***
Sudah tepat seminggu setelah pemakaman Handaru dan operasi donor yang dilakukan Yasa. Hari ini juga tepat Yasa akan kembali bisa melihat dunia lagi setelah operasi donor yang dilakukannya seminggu lalu. Pemuda itu tidak sabar untuk membuka matanya lagi, terlebih karena ia sangat merindukan Mamanya.
“Baik, saya akan buka perlahan ya Yasa.” Ucap Dokter yang merawatnya sambil meraih rekatan perban Yasa, membukanya dengan perlahan sehingga terlihat mata Yasa yang kini terpejam.
“Jangan buru-buru, perlahan saja,” kata sang Dokter mengarahkan Yasa untuk membuka kedua mata barunya itu.
Silau dan buram adalah hal yang pertama Yasa tangkap ketika matanya terbuka. Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan matanya pelan dan akhirnya penglihatannya pun jelas.
“Mama?” panggilnya yang langsung dihampiri seorang wanita paruh baya berambut sebahu.
“Yasa udah bisa lihat jelas? Yasa senang?” tanya Mamanya denggan mata berkaca-kaca sambil menatap putra semata wayangnya itu dengan sayang.
“Iya. Yasa udah bisa liat Mama lagi,” balas Yasa ikut tersenyum, namun senyumannya luntur saat ia melihat Naresh bersama seorang wanita yang tidak ia kenal berdiri di dekat ambang pintu.
“Naresh, lo ngapain disini?” tanyanya sambil mengerutkan dahi, merasa bingung.
“Gue mau lihat mata saudara gue. Karena Handaru donorin matanya buat lo,” kata Naresh sambil membuang mukanya.
Sementara Yasa langsung merasa seperti jantungnya ditusuk sesuatu. Perlahan tangannya meraih cermin yang ada di atas nakas. 
Benar, mata cokelat yang penuh binar ini adalah pandangan yang biasa Yasa tangkap ketika menatap Handaru.
Seperti ditampar berkali-kali, Yasa langsung tersenyum miris. Betapa menyedihkannya Yasa, menerima pertolongan dari orang yang selalu ia intimidasi itu.  Pikirannya langsung terbayang ketika dirinya bersama teman-temannya memperlakukan Handaru layaknya sampah. Menyeretnya, mendorong atau menumpahkan ember bekas kain pel pada pemuda itu. 
Tetapi, Handaru bahkan tidak melaporkan hal itu pada siapapun termasuk keluarganya sendiri. Handaru selalu melindungi Yasa entah karena apa. Kini Yasa menyesal meskipun sudah tak ada artinya karena Handaru sudah pergi. Yasa menyesal karena ia belum sempat mengucap kata maaf sekali pun pada pemuda itu.
Ayunda yang sejak tadi diam akhirnya membuka suaranya, “Permisi, saya Bundanya Handaru. Katanya anak saya menitipkan matanya sama kamu? Apa boleh saya lihat mata kamu sebentar, nak Yasa?” 
Yasa mengangguk lemah, mempersilahkan wanita yang mengaku sebagai Bunda Handaru itu mendekat dan meraih wajahnya. Sekian detik kemudian wanita itu menitikkan air matanya dan tanpa sadar meraih Yasa untuk di dekapnya.
“Handaru… Bunda kangen sama kamu….”
“Kenapa kamu jahat sekali sama Bunda? Bunda ada salah apa Daru?” isaknya hebat membuat semua orang yang ada di sana membuang muka, tak sanggup melihat.
Naresh mencoba menguasai diri, kemudian menghampiri Bundanya itu dan menariknya lembut. “Bunda, udah ya? Udah liat Handaru kan? Sekarang Yasa butuh istirahat, ayo kita pulang Bunda,” ajak Naresh dengan lembut yang hanya diangguki Ayunda.
Sebelum mereka benar-benar keluar dari ruangan Yasa, Mama Yasa menahan tangan Bunda. “Terima kasih. Saya benar-benar berterimakasih dengan Handaru, dia anak yang baik meskipun saya belum pernah ketemu. Saya juga minta maaf kalau sewaktu sekolah Yasa memperlakukan Handaru dengan kurang baik,” kata Mama Yasa dengan tersendat, memilih menjeda ucapannya terlebih dulu.
“Terakhir, saya benar-benar minta maaf karena saya dan Yasa secara tidak langsung telah merebut Handaru dari kalian,” lanjutnya benar-benar merasa bersalah. Ayunda hanya menghembuskan napasnya pelan kemudian menyentuh tangan Mama Yasa dan mengelusnya pelan.
“Kamu nggak perlu merasa bersalah, ini semua sudah kehendak Tuhan kalau putra saya harus pergi. Dan soal perlakuan Yasa, saya yakin Handaru sudah memaafkan Yasa. Saya pun sedang dalam memaafkan perlakuan putra kamu itu. Dan untuk mata Handaru, itu sudah keputusannya sendiri mau mendonorkannya pada Yasa. Kamu tidak perlu merasa bersalah, kamu nggak merebut Handaru dari kami,” tutur Ayunda sambil menipiskan bibir membuat Mama Yasa tak kuasa lagi menahan tangisnya.
***
Dari Handaru untuk Bunda
Bunda baca ini nggak ya? Soalnya Daru taruhnya di meja Daru sih hehe. Kalau Bunda baca ini kemungkinan Daru masih disini nggak ya? Kalau pun nggak, jangan sambil nangis ya Bunda bacanya.
Bunda, jujur aja Handaru capek. Capek dengar ucapan mereka yang kadang mengatai Bunda atau saudara Handaru yang nggak baik, juga menyeret dan melempar ember berisi air kotor ke seragam Handaru. Atau mengejek Handaru dengan tawa nyaring setiap harinya. Tapi, Handaru nggak mau buat Bunda ataupun yang lain sedih. Makanya Handaru diam saja, lagipula sebenarnya mereka orang baik kok Bunda, cuma mereka agak kurang suka dengan kondisi Handaru ini.
Bunda…. Terima kasih untuk menerima Handaru dengan apa adanya. Handaru senang kok menjadi anak Bunda. Kalau kehidupan selanjutnya benar ada, izinin Handaru jadi anak Bunda lagi ya? Sampai ketemu lagi Bunda. Handaru sayang banget sama Bunda.

Dari Handaru ntuk Rayan, Janu, dan Naresh
Halo, halo. Ini Handaru. Pesannya dibaca bareng-bareng ya. Sebenernya Daru juga nggak tau apa yang memotivasi Daru buat nulis beginian. Tapi nggak apa-apa, sekali-sekali ini. 
Rayan, terima kasih ya sudah menjadi sosok kakak yang baik untuk Daru. Meskipun kamu galak seperti singa kalau kata Janu, kamu itu sebenarnya baik. Kamu pantas menjadi kakak diantara kami bertiga, terimakasih karena sudah berusaha memberikan yang terbaik buat kita. Pasti berat banget kan tanggung jawabnya, terutama harus mengurus Handaru yang kondisinya begini. Daru seneng banget bisa punya kakak seperti Rayan.
Januar, untuk kamu tolong ya dikurangi jahilnya. Kasian Rayan dan Naresh yang selalu jadi korban kamu. Tapi, terima kasih juga ya karena selalu membuat Daru tertawa. Mungkin jika Daru normal, kita akan jadi orang yang paling berisik di dalam rumah. Sampai setelah kamu baca surat ini, ada atau nggaknya Daru, Janu harus selalu bahagia dan ceria seperti biasanya ya. Kalau Janu sedih, Daru nanti bakal marah.
Nareshwara, kamu udah jadi saudara yang baik kok. Jangan dikira Daru nggak tau kamu kadang suka diam-diam nangis dan bilang kalau kamu bukan saudara yang baik. Kamu itu cuma nggak suka nunjukkin aksimu terang-terangan aja, padahal kamu peduli banget. Terima kasih ya karena selalu ngelindungi Daru dari Yasa, kamu udah ngelakuin hal yang baik. Habis ini coba jangan terlalu diam ya sama Rayan dan Janu, bisa-bisa kamu diusilin terus tuh sama mereka.
Untuk semuanya terima kasih karena sudah mau menjadi saudara Handaru. Sampai bertemu lagi di langit. Bertemu sebagai  bintang-bintang yang berkonstelasi dengan indah di langit malam seperti yang selalu kita lihat di buku dongeng.

Dengan begini, usai sudah perjalanan Handaru bersama saudara-saudaranya. Handaru, bahkan sampai akhir hidupmu, kamu terus berusaha agar bisa bermanfaat bagi orang lain tanpa memandang siapapun itu. Kamu benar-benar anak yang baik, kini beristirahatlah dengan perasaan tenang di sisi Tuhan. Terima kasih karena pernah hadir di dunia yang fana ini.
Untuk semua manusia yang merasa dirinya buruk jauh di bawa kata “tak sempurna”, saya dedikasikan secara khusus Konstelasi Handaru untukmu. Meskipun di mata beberapa orang lain kamu itu tak berharga, masih banyak orang yang juga akan menganggapmu berharga. Percaya atau tidak, suatu saat nanti akan ada orang yang akan menyayangimu dengan tulus seperti Kairav bersaudara.
Selamat berpulang salah satu bintang milik keluarga Kairav, Handaru Bagaskara Kairav.

——————————————TAMAT——————————————

sumber gambar: Aldatun Nisa (X MIPA)