Cerpen: Hujan di Bulan November

Cerpen: Hujan di Bulan November

Karya: Luthfia Handayani (kelas XI MIPA SMAIT Latansa Cendekia)

Hujan amat deras di kota Yogyakarta, tak menyisakan berkas berkas pengasihan kepada penduduk yang hendak beraktivitas. Rainey yang menatap butiran hujan dari jendela kamarnya menjadi pilu, sembari mendengar berita di televisi yang membuat hatinya semakin pilu. ”Telah terjadi kecelakaan bus yang menewaskan 25 penumpang dan 5 lainnya luka luka. Diduga kecelakaan ini disebabkan oleh hujan yang tak kunjung berhenti berhenti sejak pukul 9 malam”.

       “Kecelakaan lagi ney?” tanya wanita paruh baya yang baru saja memasuki kamar Rainey dan mengecilkan volume TV. ”Entahlah bu” jawab Rainey datar. Ia kembali menatap butiran hujan yang menempel pada jendela kamarnya, memperhatikan ketika mereka perlahan meluncur dari kaca jendela lalu jatuh ke tanah. ”Sudah ibu siapkan mantel di meja tamu jangan lupa dibawa. Ini November, hujan akan terus turun”  ucap ibu yang perlahan meninggalkan Rainey sendirian di kamarnya. Rainey menghela nafasnya, mulai menerka nerka apa yang akan terjadi di bulan November tahun ini. Ingatannya kembali pada lima tahun silam. Ketika usianya menginjak 11 tahun, ketika tawanya begitu nyaring terdengar. Di dalam sebuah mobil sedan putih bersama dengan kakaknya.

        Saat itu sedang hujan, yang sangat deras di jalanan ibu kota Jakarta. Namun terlalu bahagianya Rainey kecil, ia tidak sadar bahwa saat itu hujan. Yang ia tau ia akan berlibur bersama kakanya. Tanpa di sadari, hujan yang membuat jalanan licin dan menggelincirkan mobil yang tengah dikendarai. Kejadian yang takkan pernah ia lupakan, di mana Rainey melihat darah mengalir deras dari tubuh kakaknya, Rainey sangat mengingat bagaimana sang kaka memeluknya demi menyelamatkannya. Jika saat itu Rainey bisa memilih, ia akan memilih pergi dari dunia bersama kakaknya. Hujan merampas harta paling berharga milik Rainey yaitu kakaknya, tetapi Allah Menyayanginya.

       “Ney…nanti telat sekolahnya” seru sang ibu. Rainey menghentikan kenangannya dan segera melangkah pergi dari sisi kamarnya. Memakai mantel dan berharap tak ada setitik air hujan di bulan November ini yang mengenainya. ”Payung ka....” ujar seorang pemuda yang membuat Rainey mendongak ke atas.  “Kamu ga lihat aku sedang memakai mantel..? kenapa masih menawarkan payung?” tanya Rainey sinis. Ia segera meninggalkan pemuda yang menawarkan payung kepadanya. Sesampainya di sekolah, Rainey segera melepaskan mantelnya dan menaruhnya di teras kelas. Ia sudah terlambat, Bu Siska telah masuk kelas. Ia menengok jam tangannya ”oh my God, jam setengah 9. “Ini semua karena hujan”  ucapnya. Rainey memutuskan untuk tidak masuk ke kelas, ia enggan menghadapi omelan Bu Siska yang pasti akan membuat telinganya panas. Rainey berjalan menuju kantin memesan bakso dan segelas teh panas.

       “Nduk ngga masuk kelas?” tanya ibu kantin ”biasa bu… telat” jawab Rainey, ibu kantin hanya tersenyum. Ia amat hafal dengan kebiasaan pelanggan setianya ini, di setiap hujan November ia akan selalu terlambat, bahkan pernah hingga sebulan penuh Rainey terlambat. Rainey menikmati aroma tanah yang melebur bersama dinginnya hujan. Rainey memandangi pagar depan sekolahnya, jendela kantinnya memang sangat luas. Ia bisa melihat jalan raya depan sekolahnya sekaligus. Rainey memperhatikan sosok pemuda berdiri memegang payung, yang menawarkan payung kepada tiap pejalan kaki. “Ah… pemuda yang menawarkan payung kepadanya ke sekolah menyebalkan!” gumamnya. Setelah bel istirahat, Rainey memutuskan kembali ke kelas dan berada di dalamnya hingga bel pulang. Hari hari menjadi membosankan ketika hujan bagi Rainey, hari ini pun ia malas untuk menyimak pelajaran. Padahal sebentar lagi Rainey akan mengikuti ujian semester ganjil tahun ketiga.

     

        “Ney… mau nebeng kita ga?”  tanya Lia. “Ia…soalnya ini hujan deras banget. Sayang kan…kalau kamu jalan” timpal Aya. “Kalian duluan aja aku bawa mantel kok” jawab Rainey. “Ok,duluan ya ney…” ucap Lia. Rainey hanya tersenyum. Rainey menengok teras kelasnya, ia mencari mantelnya yang seingatnya ia taruh di depan kelas, Rainey bahkan memutari seisi kelas dan teras kelas. Bahkan tong sampah di depan kelas pun tak luput dari targetnya. ”Cari apa nduk?”  tanya penjaga sekolah. ”Bapak lihat mantel warna kuning di depan kelas ini ngga pak? ”tanya Rainey. ”Ngga nduk. “Dari tadi ga ada mantel di depan kelas ini. Bapak permisi dulu ya nduk” . ”Iya pak terima kasih”. Rainey begitu cemas, ia takkan pulang jika hujan tidak mereda. Ibunya di rumah jika tahu pasti akan sangat khawatir, beliau tahu Rainey sangat benci hujan di bulan November.

        “Payung kak…” tawar seorang pemuda. Rainey menoleh ke arahnya. ”Kamu lagi…” ujar Rainey. Ia ingat betul pemuda ini, pemuda yang menawarinya payung pagi tadi dan yang dilihatnya di depan gerbang sekolah. Pemuda itu tersenyum ”nama saya Rehan ka”. Namun, Rainey enggan membalas. ”Karena kakak ngga bawa mantel makannya aku tawarin” lanjutnya. ”Jangan panggil saya kakak, saya yakin kamu lebih tua dari saya” larang Rainey. Rehan hanya tersenyum ”mari kak saya antar…” .”Kamu menjual payung tapi kenapa ngga pakai payung…?” . ”Karena saya suka hujan apalagi bulan November” . Rainey mengerutkan dahinya, mengapa Rehan bisa memiliki antonim dari sisi dirinya.

        ”Ayahku meninggal di bulan November saat bekerja sebagai kuli bangunan. Ibuku menjadi seorang janda. Ia menghabiskan sisa hidupnya untuk menghidupiku sebagai anak tunggal. Ibuku menutup usia di bulan November 2 tahun silam karena penyakit TBC. Aku menjadi anak yatim piatu yang tinggal di rumah kecilku sendirian. Setelah setahun ibuku meninggal, aku dikeluarkan dari sekolah karena selalu terlambat membayar uang bulanan sekolah. Dari sana, aku memutuskan bekerja sebagai tukang sol sepatu, kemudian pedagang asongan ,dan baru sehari menjadi ojek payung” Rehan mengakhiri kisahnya dengan senyuman.

         Rainey termenung mendengar kisah itu, ia membayangkan betapa pedihnya seorang Rehan. Meski terkesan blak-blakkan dan sok kenal, karena baru kenal sudah bercerita seperti ini. Rainey jadi sadar bahwa bukan hanya dirinya yang mengalami kemalangan, masih banyak yang lainnya. ”Lalu kenapa kau bisa menyukai hujan?” tanya Rainey. ”Karena setiap ziarah pemakaman baik ayah maupun ibu, hujan selalu menemani. Aku berpikir hujan adalah Rahmat Allah dan aku percaya masih ada Rahmat (kasih sayang) Allah” jawab Rehan. Rainey semakin terhanyut atas jawaban Rehan, sosok yang benar-benar ikhlas atas setiap keputusan Tuhan. Sosok yang dapat menerimanya dengan dengan lapang dada. Tidak seperti dirinya yang menghakimi Tuhan atas apa yang menimpanya. Sehingga ia amat membenci hujan yang jatuh di bulan November. Ini adalah teguran Tuhan atasnya melalui Rehan, melalui kisah-kisah Rehan yang baru beberapa menit lalu dikenalnya.

           Bahwa hujan tak selamanya membawa kebencian. Hanya saja, dari sudut pandang apa kamu memaknai hujan. ”Rehan besok sepulang sekolah. Tunjukan aku rasanya hujan di bulan November. Dingin seperti es kah.. atau justru panas melebihi api neraka” ajak Rainey di tengah rintikan hujan.

--------------------

sumber gambar ilustrasi: liputan6